"meninggalkan sesuatu amalan kerana manusia adalah riak manakala melakukan sesuatu amalan kerana manusia adalah syirik yang nyata"

~menulislah kerana Allah~

Tuesday, January 27, 2009

mencintai sejantan 'Ali



kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.

-M. Anis Matta-



ada rahsia yang tersimpan di lubuk hati 'Ali, tanpa siapa pun mengetahui.

fatimah. sahabatnya ketika kecilnya, puteri kesayangan rasulullah yang juga sepupunya itu sangat mempersonakan. kesantunannya, ibadahnya, akhlaknya. ingatkah ketika suatu hari, ayahanda tercinta pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang di lumur isi perut unta. fatimah membersihkannya dengan berhati-hati, ia seka dengan penuh cinta. dia tempelkan perca di luka si ayah bagi menghentikan darah. semuanya di lakukan dengan mata berkaca, hati menderita.

Muhammad ibn Abdullah, seorang Al-Amin tidak layak di perlaku sebegitu rupa oleh kaumnya! maka berlalulah gadis cilik itu menuju ka'abah. di sana, dia berhadapan pemuka-pemuka Quraisy yang sedang enak tertawa bangga dengan tindakan mereka kepada rasulullah. nyaring seorang fatimah mengherdik mereka. terdiam semuanya. waktu seolah berhenti daripada membenarkan mereka bersuara. mengagumkan!

'Ali tidak tahu apakah rasa itu cinta. tapi dia memang tersentak saat perkhabaran sampai kepadanya, karibnya fatimah di lamar insan yang paling akrab dengan rasulullah. lelaki yang membela Islam dengan nyawa dan hartanya sejak mula-mula penyebaran risalah. lelaki yang di gelar as-siddiq kerana tidak pernah bertentangan dengan nabi shallahu alaihi wasallam. susuk itu ialah Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali berbicara.

siapalah dia untuk di bandingkan dengan Abu Bakar. kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama walaupun Abu Bakar bukan kerabat dekat nabi seperti dirinya. namun keimanan dan pembelaannya kepada Allah dan RasulNya tak tertandingi. lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di tempat tidur baginda.

lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. lihatlah berapa ramai tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang memeluk Islam dek sentuhan Abu Bakar; iaitu’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Mus’ab.

lihatlah berapa banyak hamba muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar? merekalah Bilal, Khabbab, keluarga Yassir dan ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari segi kewangan, Abu Bakar adalah seorang saudagar. InsayAllah dia lebih mampu membahagiakan Fatimah. 'Ali hanya pemuda miskin, daripada keluarga yang jiga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

setelah berlalu beberapa waktu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harapan di hatinya yang sempat layu. lamaran Abu Bakar ditolak. ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah... rupanya ujian itu belum berakhir.

Setelah Abu Bakar, datanglah melamar Fatimah seorang lelaki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang lelaki yang membuat syaitan berlari takut dan musuh-musuh Allah menjatuhkan lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang lewat memeluk Islam, dalam 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang sangsi akan ketulusannya? Siapa yang sangsi kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang sangsi pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali sendiri sering mendengar nabi berkata;

”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fatimah.

cubalah bandingkan bagaimana 'Umar berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang menekan. Maka dia hanya berani berjalan di waktu malam. di waktu siang, dia kan bersembunyi di balik bukit pasir. menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia tawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.

”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan halang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sedar. Di nilai dari semua segi dalam pandangan orang ramai, dia pemuda yang belum layak menikah. apalagi menikahi Fatimah binti Rasuluillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak.

Dan ’Ali redha. Mencintai tak bererti harus memiliki. mencintai bererti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan-itulah keberanian. Atau mempersilakan-yang ini pengorbanan.

namun, khabar menyapa bahawa lamaran Umar juga di tolak. 'Ali bingung.

adakah seperti Uthman yang gagah perkasa, sudahpun menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? adakah seperti Abul ’Ash ibn Rabi’, saudagar Quraisy itu, suami kepada Zainab binti Rasulullah?

Ah... dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatkan dirinya hilang percaya diri.

di antara mmuhajirin, hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau sebenarnya Nabi ingin mengambil menantu dari ansar untuk mengeratkan persaudaraan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”mengapa bukan engkau yang mencuba, kawan?”, kalimat teman-teman ansarnya itu membangunkan lamunan.
”mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi..”
”aku?”, tanyanya tak yakin.
”ya. engkau wahai saudaraku!”
”aku hanya pemuda miskin. apa yang mampu aku berikan?”
”kami di belakangmu, kawan! semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fatimah.

ya, menikahi.

diaa tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? itu memalukan! meminta Fatimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? itu sangat keanak-anakkan.

”engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan-pilihannya. pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

lamarannya berjawab, ”ahlan wa sahlan!”. kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

dan ia pun bingung. apa maksudnya? ucapan selamat datang itu sulit untuk di tafsirkan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. mungkin tidak sekarang. tapi dia bersedia untuk di tolak. itu risiko.

tetapi... kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung jawapan. apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.

ah..! itu menyakitkan.

”bagaimana jawab Nabi, kawan? bagaimana lamaranmu?”
”entahlah..”
”apa maksudmu?”
”menurut kalian apakah ’ahlan wa sahlan’ bererti sebuah jawapan!”
”dasar bodoh! bodoh!”, kata mereka. ”eh, maaf kawan.. maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! ahlan saja sudah berarti ya. sahlan juga. dan kau mendapatkan ahlan wa sahlan, kawan! dua-duanya bererti ya!”

hanya Allah yang mengetahui syukurnya rasa seorang 'Ali.

’Ali pun kemudian menikahi Fatimah dengan menggadaikan baju besinya. dengan rumah yang ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras untuk menanggungnya. itu hutang di atas keberanian 'Ali untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fatimah. dengan keberanian untuk menikah. sekarang. bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. tidak hairan kalau pemuda Arab memiliki pendapat, “laa fatan illa ‘Aliyyan! tak ada pemuda kecuali Ali!”

inilah jalan cinta para pejuang. jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. seperti ’Ali; ia mempersilakan atau mengambil kesempatan. yang pertama adalah pengorbanan. yang kedua adalah keberanian. dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.

....di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita...

4 comments:

Nailah703 said...

subhanallah..sgt menyentuh hati ^_^

Anonymous said...

best2 cam kata saibah, tapi sambung la lagi...seterusnya dalam pos yg akan datang ya..

wardatul asrar said...

tibe2 tringat kisah saidina umar yg menawarkn puterinya, hafsah kpd para shbt.

tp shbt tolak gara2 pernah terdengar nabi saw pernah bertanyakn tentang hafsah.

kalau zaman sekarang.... berbunuh adik beradik pun ada,kn.. (naudzubillah)

moga kita tergolong dalam golongan yg mencari cintaNya, ayuh sama2 cinta perjuangan! =)

UMMI : insyaAllah, tp skarang ni nk dekat exam.. mgkin flow blog ini akn kembali slow..

nailah: syukran kathir =) akk lawat blog nailah tp x taw nk komen ape (**,)

IBNUSIS said...

nice post
bgs2
truskan usaha